Khutbah Jum’at: Isra’ Mi’raj

Khutbah Pertama

اَلْحَمْدُ للهِ وَحْدَهُ، نَحْمَدُهُ وَ نَسْتَعِيْنُهُ وَ نَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوْبُ اِلَيْهِ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرُ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَهُوَ الْمُهْتَدُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا.

 أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ بَلَغَ الرِّسَالَةَ وَأَدَّى اْلأَمَانَةَ وَنَصَحَ لِلأُّمَّةِ وَتَرَكَنَا عَلَى الْمَحْجَةِ الْبَيْضَاءِ لَيْلَهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا اِلاَّ هَالِكٌ

 اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ دَعَا بِدَعْوَتِهِ اِلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ, فَيَا عِبَادَ اللهِ اُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي الْخَاطِئَةِ الْمُذْنِبَةِ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. وَقَالَ اللهُ تَعَالَى فِي مُحْكَمِ التَّنْزِيْلِ بَعْدَ أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ :

يَا أَيُّهَا الََّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (آل عمران : 102)

وَقَالَ فِي أَيَةٍ أُخْرَى : سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (الإسراء : 1)

Ma’asyiral muslimin sidang jama’ah jum’at rahimaniy wa rahimakumullah

Pertama-tama, marilah kita tingkatkan kualitas taqwa kita kepada Allah dengan berupaya maksimal melaksanakan apa saja perintah-Nya yang termaktub dalam Al-Qur’an dan juga Sunnah Rasul saw. Pada waktu yang sama kita dituntut pula untuk meninggalkan apa saja larangan Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an dan juga Sunnah Rasul Saw. Hanya dengan cara itulah ketaqwaan kita mengalami peningkatan dan perbaikan.

Selanjutnya, shalawat dan salam mari kita bacakan untuk nabi Muhammad Saw sebagaimana perintah Allah dalam Al-Qur’an:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya bershalawat atas Nabi (Muhammad saw). Wahai orang-orang beriman, ucapkan shalawat dan salam atas Nabi (Muhammad saw).” (QS. Al-Ahzab [33] : 56)

Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah

Manusia hidup dalam tiga dimensi waktu: masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang. Orang yang baik adalah orang yang pandai mengambil pelajaran dari masa lalu untuk menentukan sikap hari ini dan merencanakan masa depan, sehingga hari ini bisa lebih baik dari hari kemaren dan besok bisa lebih di atas tingkat prestasi yang dicapai dari pada hari ini.

Dalam konteks itulah Isra’ Mi’raj yang merupakan peristiwa masa lampau tetap relevan diambil sebagai pelajaran untuk kita jadikan acuan hidup di zaman sekarang agar masa depan kita jauh lebih berkualitas dari pada hari ini atau pun kemaren.

Ma’asyiral muslimin sidang jama’ah jum’at rahimaniy wa rahimakumullah

Kalau kita perhatikan, hampir setiap bulan dalam kalender Islam memiliki nilai sejarah. Kalau kita bicara Muharram misalnya, kita diingatkan pada peristiwa hijrah. Di bulan Ramadhan kita bertemu dengan Nuzulul Qur’an. Di bulan Dzul Hijjah membawa kita ke peristiwa Idul Qurban. Kita menjumpai Idul Fitri di bulan Syawwal. Kita bersua dengan Maulid Nabi di bulan Rabi’ul Awwal. Dan ketika perjalanan hidup kita tiba di bulan Rajab, kita diajak mengembara, merasakan ke-MahaBesar-an Allah bersama peristiwa menakjubkan: Isra’ dan Mi’raj.

Al-Qur’an memang bukan kitab sejarah, tetapi al-Qur’an banyak menceritakan peristiwa bersejarah. Dan kalau kita tela’ah gaya bahasa yang digunakan al-Qur’an dalam menceritakan peristiwa bersejarah itu ternyata berbeda-beda.

Sangat istimewa sekali, bahwa untuk mengisahkan peristiwa Isra’ Mi’raj, Allah memulai ayat-Nya dengan kalimat tasbih. Allah berfirman:

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Dalam ayat ini Allah memulainya dengan kalimat “سُبْحَانَ” (Maha Suci Allah). Banyak peristiwa yang diceritakan Al-Qur’an, tetapi jarang sekali diawali dengan kalimat Tasbih. Ketika al-Qur’an menceritakan bagaimana fir’aun dan bala tentaranya ditenggelamkan di Laut Merah, itu peristiwa hebat, tapi tidak dimulai dengan kalimat Tasbih.

Kalau untuk memaparkan peristiwa Isra’ Mi’raj Allah memakai kalimat Tasbih, tentulah bukan suatu kebetulan. “سُبْحَانَ الَّذِي” (Maha Suci Allah). Maha Suci dari segala kelemahan. Maha Suci dari segala sifat kekurangan. Maha Suci dari segala kesia-siaan. Allah mempertaruhkan kesucian-Nya untuk menjamin kebenaran peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Pertanda bahwa Isra’ Mi’raj bukan peristiwa biasa. 

Ma’asyiral muslimin sidang jama’ah jum’at rahimaniy wa rahimakumullah

Kalimat selanjutnya: “أَسْرَى” berasal dari kalimat “سَرَى – يَسْرِي ” (artinya berjalan), yang kemudian dibentuk menjadi muta’addi dengan menambahkan Hamzah di awalnya: “أَسْرَى – يُسْرِي – إِسْرَاءً” (artinya memperjalankan).

Dari kalimat itu tampak bahwa dalam peristiwa Isra’ Mi’raj yang aktif sebenarnya Allah. Karenanya tidak heran jika nabi berangkat dari Mekkah menuju Masjidil Aqsha di Palestina, lalu naik ke langit ke tujuh, naik lagi ke Baitul Makmur setelah itu ke Shidratul Muntaha, hingga tiba di bawah ‘Arsy menerima perintah shalat, melakukan kunjungan ke Syurga dan Neraka, kemudian kembali lagi ke Mekkah, hanya memakan waktu tidak lebih dari sepertiga malam. Kenapa tidak? Allah-lah yang memperjalankan. Nabi sendiri pasif, sekedar diperjalankan dan terima beres. Andai kata Rasul berjalan sendiri, jelas beliau tidak akan sanggup menempuh jarak yang demikian jauh dalam waktu sesingkat itu. Oleh karena itu, dalam memahami peristiwa Isra’ Mi’raj jangan memakai logika manusia, tetapi harus menggunakan logika ke-MahaKuasa-an Allah.

Dahulu Abu Jahal, Abu Lahab dan kawan-kawannya memahami peristiwa Isra’ Mi’raj ini dengan logika berfikir manusia, terang saja mereka tidak bisa mencerna. Padahal kalau sedikit saja mau merenungi ayatnya, orang tidak akan kesulitan memahami Isra’ Mi’raj. Peristiwa Isra’ Mi’raj itu kehendak Allah, bukan kehendak Rasulullah SAW.

Ma’asyiral muslimin sidang jama’ah jum’at rahimaniy wa rahimakumullah

Kemudian lanjutan ayat terdapat kalimat: “عَبْدِهِ” (hamba-Nya).  Kenapa Allah tidak menggunakan kalimat lain, misalnya langsung saja disebut nama Nabi: سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِمُحَمَّدٍ (Maha Suci Allah yang telah memperjalankan Muhammad)?

Ada dua pengertian yang dikandung kata “عَبْدِهِ” (hamba-Nya) dalam ayat tersebut:

Pertama: Kata “hamba” itu menjelaskan bahwa Nabi Isra’ Mi’raj dengan ruh dan jasad. Sebab, orang hanya akan dipanggil hamba kalau punya jasad dan ruh sekaligus.

Kedua: Kalimat “عَبْدِهِ” juga menjelaskan bahwa Nabi Muhammad itu oleh Allah benar-benar telah diakui sebagai hamba-Nya. Mungkin kita bertanya, “Apakah kita bukan hamba Allah?” Tentu kita ini hamba Allah, tapi kata siapa? Kalau kata kita, itu namanya pengakuan. Kita mengaku sebagai hamba Allah. Boleh-boleh saja. Tetapi apakah pengakuan kita itu juga diakui oleh Allah, ini yang jadi masalah. Mengaku sebagai hamba Allah masih menyimpan tanda tanya besar tentang bukti empiris dari pengakuan tersebut, sementara panggilan “hamba” dari Allah merupakan penilaian tersendiri dari Allah atas realitas ke-hamba-an kita. Nabi Muhammad, Allah-lah yang mengakuinya benar-benar sebagai hamba-Nya.

Ma’asyiral muslimin sidang jama’ah jum’at rahimaniy wa rahimakumullah

Kalimat selanjutnya “لَيْلاً” (pada suatu malam). Kata ini memakai bentuk mufrad (tunggal) untuk menunjukkan satu. Ayat ini mengindikasikan bahwa Nabi Muhammad SAW diperjalankan oleh Allah dalam peristiwa Isra’ Mi’raj ini pada malam hari dan waktunya hanya satu malam (bahkan hanya sepertiga malam). Kenapa Nabi diperjalankan pada malam hari? Karena menurut kebiasaan kabilah Arab yang mayoritasnya berprofesi sebagai pedagang, mereka melakukan perjalanan jauh pada malam hari agar tidak merasakan panas teriknya matahari di tengah gurun sahara pada siang hari. Begitu juga Nabi Isra’ Mi’raj ini adalah untuk menghadap bertemu dengan Allah SWT. Waktu terbaik untuk menghadap bermunajat kepada Allah juga adalah pada malam hari.

Ma’asyiral muslimin sidang jama’ah jum’at rahimaniy wa rahimakumullah

Hakikat dan tujuan Isra’ Mi’raj hanya Allah yang Maha Tahu. Tetapi di penghujung ayat itu kita menjumpai kalimat: “لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا” (Agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebenaran Kami).

Seluruh pemandangan dan peristiwa yang dilihat dan dijumpai Nabi sepanjang perjalanan merupakan sebagian kecil dari tanda-tanda kebesaran Allah. Dan itu merupakan tamsil, contoh, dan pelajaran bagi kita yang hidup di zaman sekarang. Misalnya ketika Nabi melihat orang yang mencakar-cakar mukanya dengan kukunya sendiri. Beliau bertanya, “Ya Jibril, itu orang macam apa?” Jibril yang pada perjalanan Isra’ Mi’raj bertugas sebagai pendamping menjelaskan, “Muhammad, itulah contoh dari ummatmu yang suka menjelek-jelekkan saudaranya sendiri”.

Sesama muslim adalah bersaudara seperti satu tubuh. Jika yang satu sakit yang lain ikut merasa sakit. Seorang muslim terinjak yang lainnya ikut merasa pedih. Refleks tanpa harus menunggu undangan. Sehingga logis jika seorang muslim yang suka menjelek-jelekkan saudaranya digambarkan seperti orang yang mencakar-cakar mukanya sendiri. Seperti kata pepatah, “Menepuk air di dulang, terpercik ke muka sendiri”.

Lalu Nabi melihat orang yang dipotong lidahnya. Kata Malaikat Jibril, “Muhammad, itulah tamsil dari umatmu yang suka membuat fitnah, tukang bikin gosip.

Kemudian beliau menjumpai orang memikul kayu. Bebannya tampak sudah berat, akan tetapi, beban yang sudah membuat jalannya terseok-seok itu makin ditambah. Makin berat makin ditambah, begitu seterusnya. Sehingga Nabi merasa heran dam bertanya, “Jibril, apa lagi ini?” Jawab Malaikat Jibril, “Muhammad, itulah gambaran ummatmu yang dipercaya untuk memikul suatu amanat, tetapi sebelum dilaksanakan dia sudah menerima amanat yang lain. Akhirnya bertumpuk-tumpuk di pundaknya. Dia diberi jabatan dan tak mampu menunaikan, namun ketika dikasih lagi dia mau, diberi lagi dia terima lagi, dan seterusnya. Demikian banyak jabatan yang dirangkap, tapi tak satupun yang berhasil dilaksanakan.

Di tempat lain Nabi menyaksikan sekelompok orang yang bercocok tanam. Anehnya, saat itu menanam saat itu juga pohon itu berbuah. Tiap kali dipetik seketika itu keluar lagi buahnya. Kata Malaikat Jibril, “Wahai Muhammad, itulah sebuah potret ummatmu yang gemar memberikan bantuan kepada orang yang memang memerlukannya. Mereka rajin sedekah, membantu fakir miskin, menyantuni anak yatim, memberikan bantuan kepada pembangunan masjid, menyelenggarakan dakwah, pendidikan dan semacamnya”.

Jadi orang yang rajin membelanjakan hartanya di jalan Allah itu ibarat orang yang sekali menanam dan terus menerus memanen buahnya. Sehingga milik kita yang sebenarnya bukanlah apa yang ada pada diri kita sekarang ini. Uang kita yang sesungguhnya adalah uang yang sudah kita belanjakan di jalan Allah

Dan masih banyak lagi peristiwa-peristiwa yang disaksikan Nabi Muhammad SAW sebagai pelajaran bagi kita ummatnya sekaligus merupakan sebagian kecil dari tanda-tanda kebesaran Allah SWT.

Ma’asyiral muslimin sidang jama’ah jum’at rahimaniy wa rahimakumullah

Isra’ Mi’raj sesungguhnya adalah batu ujian. Setelah terjadinya peristiwa Isra’ Mi’raj tampak di antara orang-orang yang beriman makin mantap imannya, yang ragu-ragu makin kembali kepada kekafirannya, dan yang memang sudah kafir kian hebat kekafirannya.

Kelompok pertama yang makin mantap imannya diwakili oleh Abu Bakar Shiddiq RA. Ketika diceritakan orang bahwa Nabi Muhammad berangkat dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, lalu ke Shidratul Muntaha, dan kembali lagi ke Mekkah hanya dalam waktu semalam, beliau menjawab, “Kalau memang Muhammad yang cerita, jangankan cuma ke Masjidil Aqsha di Palestina, lebih dari itupun saya percaya”. Sejak peristiwa Isra’ Mi’raj itulah mulai tampak mana yang benar-benar beriman, mana yang setengah-setengah, dan mana yang memang kafir.

Maka bersyukurlah kita yang hidup di zaman yang jauh dari zaman Rasulullah, kita belum pernah berjumpa dengan Nabi, belum pernah mendengar tuturan beliau, juga tidak pernah menyaksikan gerak langkah perjuangan beliau, tetapi kita percaya akan peristiwa Isra’ Mi’raj. Jauh lebih beruntung dari pada mereka yang hidup di zaman Nabi, tapi mereka tidak mau beriman.

Hanya saja yang perlu kita catat, bahwa berbicara dan memperingati Isra’ Mi’raj bukanlah pesta pora, melainkan bercermin. Betapa ilmu pengetahuan manusia ada batasannya. Bahkan titel paling akhir tidak lain adalah almarhum. Setiap manusia berjalan ke arah sana. Untuk itu marilah kita menyiapkan diri kita untuk melangkah ke arah itu.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَلَّ اللهُ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ. فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

 

Khutbah Kedua

الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. قَالَ تَعَالَى: {وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا} وَقَالَ: {وَمَن يَتَّقِ اللهَ يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَيُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا}

ثُمَّ اعْلَمُوْا فَإِنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَالسَّلاَمِ عَلَى رَسُوْلِهِ فَقَالَ: {إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا}.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

 اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ. اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ. اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ لَنَا دِيْنَنَا الَّذِيْ هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنَا، وَأَصْلِحْ لَنَا دُنْيَانَا الَّتِيْ فِيْهَا مَعَاشُنَا، وَأَصْلِحْ لَنَا آخِرَتَنَا الَّتِيْ إِلَيْهَا مَعَادُنَا، وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لَنَا فِيْ كُلِّ خَيْرٍ، وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لَنَا مِنْ كُلِّ شَرٍّ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

عِبَادَاللهِ! اِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ، وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِِ وَاْلبَغْي، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، فَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ، وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ.

Kumpulan Contoh Doa Berbahasa Indonesia

Berikut ini adalah kumpulan contoh doa-doa berbahasa Indonesia yang bisa dijadikan acuan dalam membawakan doa pada acara-acara tertentu. Semoga bermanfaat.

 

1. DOA PADA UPACARA PERINGATAN HARI PROKLAMASI KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA

 اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ وَ الْمُرْسَلِيْنَ، سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ، وَ عَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ.

Ya Allah, Tuhan Yang Maha Esa,

Dengan segala kerendahan hati, kami seluruh pimpinan, staff dan karyawan di wilayah Kecamatan Kampar, serta atas nama seluruh bangsa Indonesia mempersembahkan puji dan syukur kehadirat-Mu, atas nikmat dan rahmat yang telah Engkau anugerahkan kepada bangsa dan negeri kami.

Ya Allah, Yang Maha Pengasih,

Kami menyadari sepenuhnya bahwa kemerdekaan ini, dan seluruh nikmat yang Engkau anugerahkan kepada kami adalah nikmat yang telah kami peroleh dengan pengorbanan jiwa dan raga putra-putri pejuang bangsa kami. Oleh karena itu curahkan dan limpahkanlah kasih sayang dan ridho-mu kepada para pahlawan dan pejuang bangsa kami, baik yang dikenal maupun yang tidak dikenal. Kiranya Engkau mengampuni dosa-dosa para pahlawan kami, dan berkenan menerima pengabdian dan darma bakti mereka sebagai syuhada bangsa dan negara kami.

Ya Allah Tuhan Yang Maha Rahim,

Atas segala rahmat dan karunia-Mu, pada hari ini kami dapat melaksanakan upacara bendera, kami seluruh bangsa Indonesia kembali dapat memperingati hari proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke 63. Dengan semangat proklamasi kemerdekaan Indonesia, bangkitkan semangat persatuan dan kesatuan kami. Berkatilah bangsa kami, berilah bimbingan kepada kami untuk dapat melaksanakan pekerjaan dengan ikhlas, baik dan benar sesuai dengan jalan yang Engkau ridhoi, untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, menanggulangi kemiskinan dan mewujudkan keadilan serta kesejahteraan bagi rakyat dan bangsa.

Ya Allah, Tuhan Yang Maha Bijaksana,

Perjuangan bangsa kami belum selesai, perjalanan sejarah bangsa kami masih jauh, oleh sebab itu Ya Allah, hindarkan bangsa dan negara kami dari fitnah dan marabahaya, jauhkan kami dari perpecahan dan permusuhan, mantapkanlah tekad kami untuk membangun negara dan bangsa kami, dan jadikanlah bangsa kami bangsa yang mandiri, maju, bertaqwa, beraklaq mulia, makmur adil dan sejahtera.

Ya Allah, Tuhan Yang Maha Pemersatu,

Jadikanlah peringatan upacara bendera ini, peringatan hari proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia ini, sebagai momentum untuk dapat merekatkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa kami. Limpahkanlah karunia-Mu baik yang datangnya dari langit maupun dari bumi.

Ya Allah, Tuhan Yang Pengampun,

Ampunilah semua dosa kami, dosa-dosa ibu bapak kami, guru kami, dan para pemimpin kami. Terimalah amal dan perjuangan kami, karena Engkau maha pengampun lagi maha mengetahui.

Ya Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang,

Kabulkanlah permohonan dan doa kami, agar kami semua tergolong hamba-hamba-Mu yang sholeh.

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ، وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

====================================

2. DOA PELANTIKAN

اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ وَ الْمُرْسَلِيْنَ، سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ، وَ عَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ. وَاللهُ الَّذِي لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ، بَا رَحِيْمُ، يَا مَالِكُ، يَا غَفُوْرُ، يَا مُجِيْبُ.

Ya Allah Ya Rabbana, yang mengatur alam semesta ini,

Tiada kata yang patut kami haturkan melainkan sanjungan tertinggi bagi-Mu , karena hanya atas kuasa dan ijin-Mu lah, pada hari ini kami masih bisa melanjutkan karya, tugas, dan pengabdian kami kepada-Mu, kepada masyarakat, bangsa, dan negara dalam wujud pengambilan sumpah dan pelantikan pejabat struktural eselon II, III, IV dan V di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Kampar.

Ya Robbana,

Pada hari ini dengan menyebut nama-Mu, kata-kata sumpah telah terucap sebagai konsekuensi dari penerimaan terhadap sebuah jabatan. Kami menyadari sepenuhnya bahwa sumpah merupakan kata-kata sakral yang apabila dilanggar, maka hukuman berat telah menanti.

Ya Allah,

Janganlah Engkau jadikan jabatan yang kami terima ini sebagai alasan bagi-MU untuk menghukum kami. Ampunilah kami, jika selama ini banyak amanah yang kami lalaikan, banyak hati yang kami sakiti dan banyak harta yang bukan hak kami yang kami makan.

Robbana zhalamna anfusana wainlam taghfirlana watarhamna lanakunanna minal khoosirin,

Duhai Allah, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak berkenan mengampuni kami dan tidak mengasihani kami, niscaya kami menjadi orang-orang yang sengsara dan merugi.

Ya Allah Yang Maha Perkasa, kami hamba-hamba-Mu yang sangat lemah, dan kami akui kelemahan diri kami. Kami sadar dan mengakui kejahilan, kedhaifan, kekurangan serta ketidakberdayaan diri kami ini. Kami tidak akan mampu mengemban amanah ini hanya dengan kekuatan diri kami sendiri, oleh karenanya Ya Allah kuatkanlah kami, bimbinglah kami, tuntunlah kami, agar kami dapat melaksanakan amanah ini.

Ya ghofur,

Ampunillah dosa kedua orangtua kami, kasihilah mereka sebagaimana mereka mengasihani kami ketika kami kecil. Robbanaghfirlana waliwalidaina warhamhuma kama robbayaana sighoro.

Ya Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang,

Kabulkanlah permohonan dan doa kami, agar kami semua tergolong hamba-hamba-Mu yang sholeh.

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ، وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

====================================

3. DOA ACARA PERESMIAN

اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ وَ الْمُرْسَلِيْنَ، سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ، وَ عَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ. وَاللهُ الَّذِي لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ، بَا رَحِيْمُ، يَا مَالِكُ، يَا غَفُوْرُ، يَا مُجِيْبُ.

Allahuma Ya Allah Ya Tuhan kami,

Dengan segala kebesaran dan keagungan-Mu, dengan tak henti-hentinya kami mengucapkan puji serta syukur kehadirat-Mu, serta dengan menadahkan tangan untuk memohon kehadirat-Mu pada saat ini kami hadir dalam melaksanakan acara peseresmian……………………., tiada harapan dan dambaan kami melainkan mengharap barokah dan ridha-Mu selalu menyertai kami.

Ya Allah Ya Tuhan kami,

Dengan rahmat dan kasih sayang-Mu , sungguh para pemimpin-pemimpin kami pada saat ini tiada henti-hentinya dalam berbuat, memikirkan dan melaksanakan segala bentuk pembangunan baik fisik maupun non-fisik, seperti pada saat ini telah berdiri……………………, hal ini merupakan keberhasilan dari pada pembangunan negara dan daerah kami yang sangat didambakan oleh masyarakat dan kami semuanya, untuk tercipta masyarakat yang sehat. Untuk itu dengan sifatmu Yang Maha Rahman dan Maha Rahim Ya Allah, jadikan kami semua orang yang pandai bersyukur atas nikmat yang telah engkau limpahkan kepada kami, dan jauhkan kami dari sifat kufur nikmat.

Ya Allah Ya Tuhan kami,

Jadikan momen ini sebagai langkah maju yang akan memacu dan mendukung percepatan pembangunan daerah kami yang tercinta ini, serta tanamkan ke dalam hati sanubari kami untuk selalu tetap mempertahankan rasa persatuan dan kesatuan serta Ukhuwah Islamiyah dengan penuh rasa kebersamaan di antara kami dan pemimpin-pemimpin daerah kami pada saat ini untuk terus berbuat dalam meningkatkan pembangunan di daerah kami tercinta, dan limpahkan kesehatan kekuatan dan kesempatan kepada kami, pemimpin-pemimpin kami dalam menciptakan masyarakat yang madani: Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.

Ya Allah Tuhan yang Maha Pengampun,

Ampunilah dosa dan kesalahan kami dan kesalahan orang tua kami, pemimpin-pemimpin kami, dan para syuhada kami, terimalah doa dan pinta kami ini.

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ، وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

====================================

4. DOA KUNJUNGAN INVESTOR MALAYSIA

اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ وَ الْمُرْسَلِيْنَ، سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ، وَ عَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ. وَاللهُ الَّذِي لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ، بَا رَحِيْمُ، يَا مَالِكُ، يَا غَفُوْرُ، يَا مُجِيْبُ.

Ya Allah Ya Tuhan kami,

Segala puji dan sykur kami persembahkan ke hadirat-Mu, atas Kudrat dan Iradah-Mu jualah pada hari yang berbahagian ini engkau perkenankan kami hadir dalam acara kunjungan para investor yang datang dari negara tetangga kami Malaysia ke bumi Kabupaten Kampar, kiranya acara yang kami laksanakan ini mendapat barakah dan ridha-Mu.

Ya Allah Tuhan yang Maha Kuasa,

Sungguh merupakan nikmat yang sangat besar sekali bagi kami warga masyarakat Kampar, dimana telah Engkau hamparkan bumi Kabupaten Kampar yang indah, subur dan permai ini, serta masyarakatnya yang aman, dan ramah. Untuk itu kepada Engkau ya Allah, kami mohon kiranya bagi investor yang telah menanamkan niatnya, dan memberikan perhatian yang besar terhadap Kabupaten Kampar, sehingga pada gilirannyalah, potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang cukup tersedia ini, akan mendatangkan manfaat yang besar baik bagi investor maupun bagi masyarakat Kampar pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Limpahkanlah petunjuk, bimbingan dengan sifat-Mu yang Maha Rahman dan Maha Rahim kepada kami semuanya, untuk membangun daerah ini agar lebih maju dalam mewujudkan masyarakat yang sejahtera serta hasanah di dunia dan hasanah di akhirat.

Allahumma ya Allah ya Tuhan kami,

Dengan Taufiq dan Hidayah-nu, curahkanlah di kalbu kami, rasa Ukhuwah Islamiyah yang mendalam, serta jadikanlah kami orang-orang yang pandai bersyukur terhadap nikmat yang telah engkau limpah dan engkau curahkan kepada kami, dan jaukan kami dari sifat kufur nikmat. Serta berikanlah kekuatan lahir dan kekuatan batin kepada pemimpin-pemimpin kami dan kepada investor dan kepada kami semuanya sehingga kami dapat berbuat lebih banyak lagi demi untuk kesejahteraan masyarakat, negara dan daerah kami ini , ampunilah dosa dan kesalahan kami, para pemimpin-pemimpin kami, dan kepada kedua ibu bapa kami, terimalah doa dan pinta kami ini.

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ، وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

====================================

5. DOA PELANTIKAN DEWAN HAKIM MTQ

اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ وَ الْمُرْسَلِيْنَ، سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ، وَ عَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ. وَاللهُ الَّذِي لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ، بَا رَحِيْمُ، يَا مَالِكُ، يَا غَفُوْرُ، يَا مُجِيْبُ.

Allahuma Ya Allah,

Puji dan syukur kami persembahkan kehadirat-Mu ya Allah, atas Kudrat dan Iradah-Mu jualah, engkau perkenankan kami hadir di tempat ini dalam mengikuti acara sumpah dan pelantikan dewan hakim MTQ ke… tingkat Kab. Kampar tahun……. Semoga acara ini mendapat barokah dan ridho-Mu.

Ya Allah Ya Tuhan kami.

Dengan pelaksanaan sumpah dan pelantikan dewan hakim ini, adalah merupakan salah satu rangkaian kegiatan dari pada pelaksanaan MTQ yang akan kami laksanakan, dan sebagai pertanda betapa cintanya kami kepada kitab suci-Mu, yang menjadi pedoman hidup dan kehidupan kami di atas dunia ini. Untuk itu Ya Allah, berikanlah kemampuan serta bimbingan kepada dewan hakim yang telah dilantik pada hari ini untuk dapat melaksanakan tugas, memberikan penilaian, pada MTQ ini dengan sebaik-baiknya.

Ya Allah Ya Tuhan kami,

Dengan sifat Rahman dan Rahim-Mu, tanamkan ke dalam hati sanubari kami semuanya, agar kami selalu tetap cinta dan setia kepada kitab suci-Mu, Al-Qur`an, dan segala isi dan kandungannya bisa dapat kami aplikasikan di dalam kehidupan kami sehari-hari.

Ya Allah Ya Tuhan kami,

Limpahkanlah kekuatan dan kesehatan kepada kami, kepada pemimpin-pemimpin kami, agar kami dapat terus melaksanakan segala pembangunan bangsa dan daerah kami baik pembangunan mental, maupun pembangunan spritual, serta kuatkan persatuan dan kesatuan serta Ukhuwah Islamiyah di antara kami dalam meneruskan pembangunan untuk menuju masyarakat yang maju dan sejahtera yakni masyarakat yang madani.

Ya Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang,

Kabulkanlah permohonan dan doa kami, agar kami semua tergolong hamba-hamba-Mu yang sholeh.

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ، وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

====================================

Bersambung …

Kajian Maulid Nabi Muhammad SAW

Pada hari Kamis, bertepatan dengan tanggal 12 Rabi’ul Awal 1434 H atau tanggal 24 Januari 2013 M, diadakan acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Masjid Raya Baiturrahman Kec. Kampar, Kab. Kampar. Acara yang ditaja oleh Pemerintah Kecamatan Kampar Timur bekerja sama dengan Ikatan Haji Kecamatan Kampar Timur ini menghadirkan Ustadz H. Abdul Somad Lc. MA. sebagai penceramah. Alumni Al-Azhar Mesir (S1) dan Dar El-Hadits Marokko (S2) ini menyampaikan taushiyah di hadapan ratusan jama’ah yang terdiri dari Pegawai-pegawai di tingkat Kecamatan, para guru dan siswa-siswi se-Kecamatan Kampar Timur.

Meskipun berceramah memberikan taushiyah dalam durasi sekitar 1 jam 20 menit, terlihat para jama’ah sangat antusias memperhatikan pemaparan Ustadz yang sehari-hari sebagai Dosen di Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau ini.

Untuk mendengarkan taushiyah dari Ustadz H. Abdul Somad, Lc. MA. tersebut, berikut kami sertakan audio rekamannya. Silahkan didownload. (Rekaman terdiri dari dua file)

1. H. Abdul Somad, Lc. MA. – Maulid Nabi Muhammad SAW 1

2. H. Abdul Somad, Lc. MA. – Maulid Nabi Muhammad SAW 2

10 Kerusakan Dalam Perayaan Tahun Baru

Alhamdulillah. Segala puji hanya milik Allah, Rabb yang memberikan hidayah demi hidayah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad SAW, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka hingga akhir zaman.

Manusia di berbagai negeri sangat antusias menyambut perhelatan yang hanya setahun sekali ini. Hingga walau sampai lembur pun, mereka dengan rela dan sabar menunggu pergantian tahun. Namun bagaimanakah pandangan Islam -agama yang hanif- mengenai perayaan tersebut? Apakah mengikuti dan merayakannya diperbolehkan? Semoga artikel yang singkat ini bisa menjawabnya.

Sejarah Tahun Baru Masehi

Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM (sebelum masehi). Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.[1]

Dari sini kita dapat menyaksikan bahwa perayaan tahun baru dimulai dari orang-orang kafir dan sama sekali bukan dari Islam. Perayaan tahun baru ini terjadi pada pergantian tahun kalender Gregorian yang sejak dulu telah dirayakan oleh orang-orang kafir.

Berikut adalah beberapa kerusakan akibat seorang muslim merayakan tahun baru:

Kerusakan Pertama: Merayakan Tahun Baru Berarti Merayakan ‘Ied (Perayaan) yang Haram

Perlu diketahui bahwa perayaan (‘ied) kaum muslimin ada dua yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. Anas bin Malik mengatakan,

كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى

“Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan, ‘Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul Adha.’”[2]

Namun setelah itu muncul berbagai perayaan (‘ied) di tengah kaum muslimin. Ada perayaan yang dimaksudkan untuk ibadah atau sekedar meniru-niru orang kafir. Di antara perayaan yang kami maksudkan di sini adalah perayaan tahun baru Masehi. Perayaan semacam ini berarti di luar perayaan yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudkan sebagai perayaan yang lebih baik yang Allah ganti. Karena perayaan kaum muslimin hanyalah dua yang dikatakan baik yaitu Idul Fithri dan Idul Adha.

Perhatikan penjelasan Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’, komisi fatwa di Saudi Arabia berikut ini:

Al Lajnah Ad Da-imah mengatakan, “Yang disebut ‘ied atau hari perayaan secara istilah adalah semua bentuk perkumpulan yang berulang secara periodik boleh jadi tahunan, bulanan, mingguan atau semisalnya. Jadi dalam ied terkumpul beberapa hal:

1. Hari yang berulang semisal idul fitri dan hari Jumat.

2. Berkumpulnya banyak orang pada hari tersebut.

3. Berbagai aktivitas yang dilakukan pada hari itu baik berupa ritual ibadah ataupun non ibadah.

Hukum ied (perayaan) terbagi menjadi dua:

1. Ied yang tujuannya adalah beribadah, mendekatkan diri kepada Allah dan mengagungkan hari tersebut dalam rangka mendapat pahala, atau

2. Ied yang mengandung unsur menyerupai orang-orang jahiliah atau golongan-golongan orang kafir yang lain maka hukumnya adalah bid’ah yang terlarang karena tercakup dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ 

“Barang siapa yang mengada-adakan amal dalam agama kami ini padahal bukanlah bagian dari agama maka amal tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Misalnya adalah peringatan maulid nabi, hari ibu dan hari kemerdekaan. Peringatan maulid nabi itu terlarang karena hal itu termasuk mengada-adakan ritual yang tidak pernah Allah izinkan di samping menyerupai orang-orang Nasrani dan golongan orang kafir yang lain. Sedangkan hari ibu dan hari kemerdekaan terlarang karena menyerupai orang kafir.”[3] -Demikian penjelasan Lajnah-

Begitu pula perayaan tahun baru termasuk perayaan yang terlarang karena menyerupai perayaan orang kafir.

Kerusakan Kedua: Merayakan Tahun Baru Berarti Tasyabbuh (Meniru-niru) Orang Kafir

Merayakan tahun baru termasuk meniru-niru orang kafir. Dan sejak dulu Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mewanti-wanti bahwa umat ini memang akan mengikuti jejak orang Persia, Romawi, Yahudi dan Nashrani. Kaum muslimin mengikuti mereka baik dalam berpakaian atau pun berhari raya.

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ » . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ « وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ »

“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?“ [4]

Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ . قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ

“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh lika-liku, pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” [5]

An Nawawi -rahimahullah- ketika menjelaskan hadits di atas menjelaskan, “Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal) dan dziro’ (hasta) serta lubang dhob (lubang hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa tingkah laku kaum muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nashroni. Yaitu kaum muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan berbagai penyimpangan, bukan dalam hal kekufuran. Perkataan beliau ini adalah suatu mukjizat bagi beliau karena apa yang beliau katakan telah terjadi saat-saat ini.” [6]

Lihatlah apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang beliau katakan memang benar-benar terjadi saat ini. Berbagai model pakaian orang barat diikuti oleh kaum muslimin, sampai pun yang setengah telanjang. Begitu pula berbagai perayaan pun diikuti, termasuk pula perayaan tahun baru ini.

Ingatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara tegas telah melarang kita meniru-niru orang kafir (tasyabbuh).

Beliau bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” [7]

Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) ini terjadi dalam hal pakaian, penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’). [8]

Kerusakan Ketiga: Merekayasa Amalan yang Tanpa Tuntunan di Malam Tahun Baru

Kita sudah ketahui bahwa perayaan tahun baru ini berasal dari orang kafir dan merupakan tradisi mereka. Namun sayangnya di antara orang-orang jahil ada yang mensyari’atkan amalan-amalan tertentu pada malam pergantian tahun. “Daripada waktu kaum muslimin sia-sia, mending malam tahun baru kita isi dengan dzikir berjama’ah di masjid. Itu tentu lebih manfaat daripada menunggu pergantian tahun tanpa ada manfaatnya”, demikian ungkapan sebagian orang. Ini sungguh aneh. Pensyariatan semacam ini berarti melakukan suatu amalan yang tanpa tuntunan. Perayaan tahun baru sendiri adalah bukan perayaan atau ritual kaum muslimin, lantas kenapa harus disyari’atkan amalan tertentu ketika itu? Apalagi menunggu pergantian tahun pun akan mengakibatkan meninggalkan berbagai kewajiban sebagaimana nanti akan kami utarakan.

Jika ada yang mengatakan, “Daripada menunggu tahun baru diisi dengan hal yang tidak bermanfaat, mending diisi dengan dzikir. Yang penting kan niat kita baik.”

Maka cukup kami sanggah niat baik semacam ini dengan perkataan Ibnu Mas’ud ketika dia melihat orang-orang yang berdzikir, namun tidak sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya ini mengatakan pada Ibnu Mas’ud,

وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ

“Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”

Ibnu Mas’ud lantas berkata,

وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ

“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun mereka tidak mendapatkannya.” [9]

Jadi dalam melakukan suatu amalan, niat baik semata tidaklah cukup. Kita harus juga mengikuti contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baru amalan tersebut bisa diterima di sisi Allah.

Kerusakan Keempat: Terjerumus dalam Keharaman dengan Mengucapkan Selamat Tahun Baru

Kita telah ketahui bersama bahwa tahun baru adalah syiar orang kafir dan bukanlah syiar kaum muslimin. Jadi, tidak pantas seorang muslim memberi selamat dalam syiar orang kafir seperti ini. Bahkan hal ini tidak dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma’).

Ibnul Qoyyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah mengatakan, “Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.

Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.” [10]

Kerusakan Kelima: Meninggalkan Perkara Wajib yaitu Shalat Lima Waktu

Betapa banyak kita saksikan, karena begadang semalam suntuk untuk menunggu detik-detik pergantian tahun, bahkan begadang seperti ini diteruskan lagi hingga jam 1, jam 2 malam atau bahkan hingga pagi hari, kebanyakan orang yang begadang seperti ini luput dari shalat Shubuh yang kita sudah sepakat tentang wajibnya. Di antara mereka ada yang tidak mengerjakan shalat Shubuh sama sekali karena sudah kelelahan di pagi hari. Akhirnya, mereka tidur hingga pertengahan siang dan berlalulah kewajiban tadi tanpa ditunaikan sama sekali. Na’udzu billahi min dzalik.

Ketahuilah bahwa meninggalkan satu saja dari shalat lima waktu bukanlah perkara sepele. Bahkan meningalkannya para ulama sepakat bahwa itu termasuk dosa besar.

Ibnul Qoyyim -rahimahullah- mengatakan, “Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja termasuk dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” [11]

Adz Dzahabi –rahimahullah- juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat -yaitu satu shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk orang yang merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).” [12]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengancam dengan kekafiran bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat lima waktu. Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” [13]

Oleh karenanya, seorang muslim tidak sepantasnya merayakan tahun baru sehingga membuat dirinya terjerumus dalam dosa besar.

Dengan merayakan tahun baru, seseorang dapat pula terluput dari amalan yang utama yaitu shalat malam. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ

“Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.” [14]

Shalat malam adalah sebaik-baik shalat dan shalat yang biasa digemari oleh orang-orang sholih. Seseorang pun bisa mendapatkan keutamaan karena bertemu dengan waktu yang mustajab untuk berdo’a yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Sungguh sia-sia jika seseorang mendapati malam tersebut namun ia menyia-nyiakannya. Melalaikan shalat malam disebabkan mengikuti budaya orang barat, sungguh adalah kerugian yang sangat besar.

Kerusakan Keenam: Begadang Tanpa Ada Hajat

Begadang tanpa ada kepentingan yang syar’i dibenci oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Termasuk di sini adalah menunggu detik-detik pergantian tahun yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat ‘Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.” [15]

Ibnu Baththol menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka begadang setelah shalat ‘Isya karena beliau sangat ingin melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat shubuh berjama’ah. ‘Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah memukul orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur lelap?!” [16] Apalagi dengan begadang, ini sampai melalaikan dari sesuatu yang lebih wajib (yaitu shalat Shubuh)?!

Kerusakan Ketujuh: Terjerumus dalam Zina

Jika kita lihat pada tingkah laku muda-mudi saat ini, perayaan tahun baru pada mereka tidaklah lepas dari ikhtilath (campur baur antara pria dan wanita) dan berkholwat (berdua-duan), bahkan mungkin lebih parah dari itu yaitu sampai terjerumus dalam zina dengan kemaluan. Inilah yang sering terjadi di malam tersebut dengan menerjang berbagai larangan Allah dalam bergaul dengan lawan jenis. Inilah yang terjadi di malam pergantian tahun dan ini riil terjadi di kalangan muda-mudi. Padahal dengan melakukan seperti pandangan, tangan dan bahkan kemaluan telah berzina. Ini berarti melakukan suatu yang haram.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

“Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” [17]

Kerusakan Kedelapan: Mengganggu Kaum Muslimin

Merayakan tahun baru banyak diramaikan dengan suara mercon, petasan, terompet atau suara bising lainnya. Ketahuilah ini semua adalah suatu kemungkaran karena mengganggu muslim lainnya, bahkan sangat mengganggu orang-orang yang butuh istirahat seperti orang yang lagi sakit. Padahal mengganggu muslim lainnya adalah terlarang sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Seorang muslim adalah seseorang yang lisan dan tangannya tidak mengganggu orang lain.” [18]

Ibnu Baththol mengatakan, “Yang dimaksud dengan hadits ini adalah dorongan agar seorang muslim tidak menyakiti kaum muslimin lainnya dengan lisan, tangan dan seluruh bentuk menyakiti lainnya. Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Orang yang baik adalah orang yang tidak menyakiti walaupun itu hanya menyakiti seekor semut”.”[19] Perhatikanlah perkataan yang sangat bagus dari Al Hasan Al Basri. Seekor semut yang kecil saja dilarang disakiti, lantas bagaimana dengan manusia yang punya akal dan perasaan disakiti dengan suara bising atau mungkin lebih dari itu?!

Kerusakan Kesembilan: Meniru Perbuatan Setan dengan Melakukan Pemborosan

Perayaan malam tahun baru adalah pemborosan besar-besaran hanya dalam waktu satu malam. Jika kita perkirakan setiap orang menghabiskan uang pada malam tahun baru sebesar Rp.1000 untuk membeli mercon dan segala hal yang memeriahkan perayaan tersebut, lalu yang merayakan tahun baru sekitar 10 juta penduduk Indonesia, maka hitunglah berapa jumlah uang yang dihambur-hamburkan dalam waktu semalam? Itu baru perkiraan setiap orang menghabiskan Rp. 1000, bagaimana jika lebih dari itu?! Masya Allah sangat banyak sekali jumlah uang yang dibuang sia-sia. Itulah harta yang dihamburkan sia-sia dalam waktu semalam untuk membeli petasan, kembang api, mercon, atau untuk menyelenggarakan pentas musik, dsb. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman,

وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ

“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (Qs. Al-Isro’: 26-27)

Ibnu Katsir mengatakan, “Allah ingin membuat manusia menjauh sikap boros dengan mengatakan: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” Dikatakan demikian karena orang yang bersikap boros menyerupai setan dalam hal ini.

Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) adalah menginfakkan sesuatu bukan pada jalan yang benar.” Mujahid mengatakan, “Seandainya seseorang menginfakkan seluruh hartanya dalam jalan yang benar, itu bukanlah tabdzir (pemborosan). Namun jika seseorang menginfakkan satu mud saja (ukuran telapak tangan) pada jalan yang keliru, itulah yang dinamakan tabdzir (pemborosan).” Qotadah mengatakan, “Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru dan pada jalan untuk berbuat kerusakan.” [20]

Kerusakan Kesepuluh: Menyia-nyiakan Waktu yang Begitu Berharga

Merayakan tahun baru termasuk membuang-buang waktu. Padahal waktu sangatlah kita butuhkan untuk hal yang bermanfaat dan bukan untuk hal yang sia-sia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi nasehat mengenai tanda kebaikan Islam seseorang,

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

“Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.” [21]

Ingatlah bahwa membuang-buang waktu itu hampir sama dengan kematian yaitu sama-sama memiliki sesuatu yang hilang. Namun sebenarnya membuang-buang waktu masih lebih jelek dari kematian.

Semoga kita merenungkan perkataan Ibnul Qoyyim, “(Ketahuilah bahwa) menyia-nyiakan waktu lebih jelek dari kematian. Menyia-nyiakan waktu akan memutuskanmu (membuatmu lalai) dari Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanyalah memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.” [22]

Seharusnya seseorang bersyukur kepada Allah dengan nikmat waktu yang telah Dia berikan. Mensyukuri nikmat waktu bukanlah dengan merayakan tahun baru. Namun mensyukuri nikmat waktu adalah dengan melakukan ketaatan dan ibadah kepada Allah. Itulah hakekat syukur yang sebenarnya. Orang-orang yang menyia-nyiakan nikmat waktu seperti inilah yang Allah cela. Allah Ta’ala berfirman,

أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُم مَّا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَن تَذَكَّرَ وَجَاءكُمُ النَّذِيرُ

“Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?” (QS. Fathir: 37).

Qotadah mengatakan, “Beramallah karena umur yang panjang itu akan sebagai dalil yang bisa menjatuhkanmu. Marilah kita berlindung kepada Allah dari menyia-nyiakan umur yang panjang untuk hal yang sia-sia.” [23]

Inilah di antara beberapa kerusakan dalam perayaan tahun baru. Sebenarnya masih banyak kerusakan lainnya yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu dalam tulisan ini karena saking banyaknya. Seorang muslim tentu akan berpikir seribu kali sebelum melangkah karena sia-sianya merayakan tahun baru. Jika ingin menjadi baik di tahun mendatang bukanlah dengan merayakannya. Seseorang menjadi baik tentulah dengan banyak bersyukur atas nikmat waktu yang Allah berikan. Bersyukur yang sebenarnya adalah dengan melakukan ketaatan kepada Allah, bukan dengan berbuat maksiat dan bukan dengan membuang-buang waktu dengan sia-sia. Lalu yang harus kita pikirkan lagi adalah apakah hari ini kita lebih baik dari hari kemarin? Pikirkanlah apakah hari ini iman kita sudah semakin meningkat ataukah semakin anjlok! Itulah yang harus direnungkan seorang muslim setiap kali bergulirnya waktu.

Ya Allah, perbaikilah keadaan umat Islam saat ini. Perbaikilah keadaan saudara-saudara kami yang jauh dari aqidah Islam. Berilah petunjuk pada mereka agar mengenal agama Islam ini dengan benar.

“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud: 88)

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id

[1] Sumber bacaan: http://id.wikipedia.org/wiki/Tahun_baru
[2] HR. An Nasa-i no. 1556. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[3] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta‘, 3/88-89, Fatwa no. 9403, Mawqi’ Al Ifta’.
[4] HR. Bukhari no. 7319, dari Abu Hurairah.
[5] HR. Muslim no. 2669, dari Abu Sa’id Al Khudri.
[6] Al Minhaj Syarh Shohih Muslim, Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi, 16/220, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobiy, cetakan kedua, 1392.
[7] HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho‘ (1/269) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269.
[8] Lihat penukilan ijma’ (kesepakatan ulama) yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, 1/363, Wazarotu Asy Syu-un Al Islamiyah, cetakan ketujuh, tahun 1417 H.
[9] HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid (bagus).
[10] Ahkam Ahli Dzimmah, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/441, Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1418 H.
[11] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 7, Dar Al Imam Ahmad
[12]  Al Kaba’ir, hal. 26-27, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.
[13] HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Misykatul Mashobih no. 574
[14] HR. Muslim no. 1163
[15] HR. Bukhari no. 568
[16] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 3/278, Asy Syamilah.
[17] HR. Muslim no. 6925
[18] HR. Bukhari no. 10 dan Muslim no. 41
[19] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 1/38, Asy Syamilah
[20] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 5/69, pada tafsir surat Al Isro’ ayat 26-27
[21] HR. Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if  Sunan Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shohih.
[22] Al Fawa’id, hal. 33
[23] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6/553, pada tafsir surat Fathir ayat 37.

Dari artikel ‘10 Kerusakan Dalam Perayaan Tahun Baru — Muslim.Or.Id

Hukum Kopi Luwak

Pengertian Kopi Luwak

Kopi Luwak adalah kopi yang diproduksi dari biji kopi yang telah dimakan dan melewati saluran pencernaan binatang bernama luwak. Dan luwak adalah sejenis musang, karenanya biasa dikatakan musang luwak. Dia senang sekali mencari buah-buahan yang cukup baik dan masak, termasuk buah kopi sebagai makanannya. Luwak akan memilih buah kopi yang betul-betul masak sebagai makanannya, dan setelahnya, biji kopi yang dilindungi kulit keras dan tidak tercerna akan keluar bersama kotoran luwak.[1]

Berdasarkan keterangan di atas maka kopi luwak hukumnya dikembalikan kepada dua masalah: Apakah musang itu halal dimakan ataukah tidak? Dan apakah kotorannya suci ataukah najis?

Hukum Daging Luwak

Musang luwak adalah hewan menyusu (mamalia) yang termasuk suku musang dan garangan (Viverridae). Nama ilmiahnya adalah Paradoxurus hermaphroditus dan di Malaysia dikenal sebagai musang pulut. Hewan ini juga dipanggil dengan berbagai sebutan lain seperti musang (nama umum, Betawi), careuh (Sunda), luak atau luwak (Jawa), serta common palm civet,common musang, house musang atau toddy cat dalam bahasa Inggris.[2]

Di desa-desa luwak dikenal sebagai binatang yang suka memangsa ayam, sehingga sering dikejar-kejar oleh penduduk desa. Tetapi sebenarnya, luwak lebih sering memakan aneka buah-buahan di kebun dan pekarangan, seperti buah pepaya, pisang, bahkan coklat. Luwak juga suka makan serangga, cacing tanah, kadal serta bermacam-macam hewan kecil lain yang bisa ditangkapnya, termasuk mamalia kecil seperti tikus.

Pertanyaannya, apakah luwak termasuk binatang buas yang haram untuk dimakan?

Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini:

Pendapat Pertama, mengatakan bahwa luwak haram dimakan dagingnya, karena termasuk binatang buas yang bertaring, sebagaimana di dalam hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

كُلُّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ

“Setiap binatang buas yang bertaring maka memakannya adalah haram.” (HR. Muslim)

Pendapat Kedua, mengatakan walaupun luwak binatang pemakan daging dan buas, tetapi tidak menyerang manusia, sehingga dagingnya halal dimakan. Luwak ini seperti binatang adh-dhobu’ (hyena) yang halal untuk dimakan, karena hyena tidak menyerang manusia, walaupun dia adalah pemakan daging. Dalilnya hadist Jabin bin Abdillah:

عن جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الضَّبُعِ فَقَالَ هُوَ صَيْدٌ وَيُجْعَلُ فِيهِ كَبْشٌ إِذَا صَادَهُ الْمُحْرِمُ 

Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata: “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang hyena? Beliau menjawab: Hyena adalah binatang buruan, dan bila seorang yang sedang berihram memburu binatang ini, maka dia dikenakan denda dengan menyembelih seekor domba.” (HR. Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah, Ahmad)

Hukum Kopi Luwak

Sebagaimana diterangkan di atas bahwa kopi luwak bukanlah kopi yang berasal dari kotoran luwak, tetapi berasal dari biji kopi yang tidak dicerna di dalam perut luwak, kemudian keluar bersama kotoran luwak. Pertanyaannya adalah apakah kotoran luwak itu najis? Kita kembalikan kepada perbedaan ulama di atas, jika luwak adalah binatang yang haram dimakan, maka kotoran luwak adalah najis, kalau kotorannya najis, maka biji kopi yang keluar bersama kotorannyapun menjadi najis. Agar halal untuk dikonsumsi, maka biji kopi tersebut harus disucikan terlebih dahulu. Setelah suci, maka biji kopi tersebut siap untuk diproses menjadi kopi luwak.

Hal seperti ini pernah disebutkan di dalam fiqh madzhab Syafi’i, sebagaimana yang ditulis Imam Nawawi:

قَالَ أَصْحَابُنَا رَحِمَهُمُ اللّٰهُ : إِذَا أَكَلَتِ الْبَهِيْمَةُ حَبًّا وَخَرَجَ مِنْ بَطْنِهَا صَحِيْحًا ، فَإِنْ كَانَتْ صَلَابَتُهُ بَاقِيَةً بِحَيْثُ لَوْ زُرِعَ نَبَتَ ، فَعَيْنُهُ طَاهِرَةٌ لٰكِنْ يَجِبُ غَسْلُ ظَاهِرِهِ لِمُلَاقَاةِ النَّجَاسَةِ

“Para sahabat kami (dari ulama madzhab Syafi’i) rahimahumullah: mengatakan: “Jika ada hewan memakan biji-bijian (dari tumbuhan) dan keluar lagi dari dari perutnya dalam keadaan masih baik, jika kerasnya masih utuh, yaitu jika biji tersebut ditanam kembali, akan dapat tumbuh, maka biji tersebut dikatakan suci, tetapi harus dibersihkan luarnya karena terkena najis… ” [3]

Pendapat ini diambil oleh MUI (Majlis Ulama Indonesia) di dalam sidang fatwanya pada hari Selasa (20/ 7/ 2010) yang menetapkan bahwa biji kopi yang keluar bersama kotoran binatang tersebut statusnya halal setelah adanya proses pensucian.

Adapun jika kita mengambil pendapat kedua yang mengatakan bahwa luwak adalah binatang yang halal dimakan, maka secara otomatis kotoran kopi luwak tersebut tidak najis. Ini menurut pendapat ulama yang mengatakan bahwa luwak adalah binatang yang boleh dimakan dagingnya, maka secara otomatis kotorannya tidak najis. Ini dikuatkan dengan dalil-dalil sebagai berikut:

Pertama: Hadist ‘Urayinin:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَدِمَ أُنَاسٌ مِنْ عُكْلٍ أَوْ عُرَيْنَةَ فَاجْتَوَوْا الْمَدِينَةَ فَأَمَرَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِلِقَاحٍ وَأَنْ يَشْرَبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا فَانْطَلَقُوا فَلَمَّا صَحُّوا قَتَلُوا رَاعِيَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاسْتَاقُوا النَّعَمَ فَجَاءَ الْخَبَرُ فِي أَوَّلِ النَّهَارِ فَبَعَثَ فِي آثَارِهِمْ فَلَمَّا ارْتَفَعَ النَّهَارُ جِيءَ بِهِمْ فَأَمَرَ فَقَطَعَ أَيْدِيَهُمْ وَأَرْجُلَهُمْ وَسُمِرَتْ أَعْيُنُهُمْ وَأُلْقُوا فِي الْحَرَّةِ يَسْتَسْقُونَ فَلَا يُسْقَوْنَ

Dari Anas bin Malik berkata, “Beberapa orang dari ‘Ukl atau ‘Urainah datang ke Madinah, namun mereka tidak tahan dengan iklim Madinah hingga mereka pun sakit. Beliau lalu memerintahkan mereka untuk mendatangi unta dan meminum air kencing dan susunya. Maka mereka pun berangkat menuju kandang unta (zakat), ketika telah sembuh, mereka membunuh pengembala unta Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan membawa unta-untanya. Kemudian berita itu pun sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelang siang. Maka beliau mengutus rombongan untuk mengikuti jejak mereka, ketika matahari telah tinggi, utusan beliau datang dengan membawa mereka. Beliau lalu memerintahkan agar mereka dihukum, maka tangan dan kaki mereka dipotong, mata mereka dicongkel, lalu mereka dibuang ke pada pasir yang panas. Mereka minta minum namun tidak diberi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits di atas menunjukan bahwa air kencing unta tidak najis, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan ‘Urayinin yang terkena sakit untuk berobat dengan meminum air susu dan air kencing unta. Beliau tidak akan menyuruh untuk meminum sesuatu yang najis. Adapun air kencing hewan-hewan lain yang boleh dimakan juga tidak najis dengan mengqiyaskan kepada air kencing unta.

Kedua: Hadist Anas bin Malik,

عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي قَبْلَ أَنْ يُبْنَى الْمَسْجِدُ فِي مَرَابِضِ الْغَنَمِ

“Dari Anas berkata, “Sebelum masjid dibangun, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di kandang kambing.” ( HR Bukhari )

Ketiga: Hadist Jabir bin Samurah,

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَأَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْغَنَمِ قَالَ إِنْ شِئْتَ فَتَوَضَّأْ وَإِنْ شِئْتَ فَلَا تَوَضَّأْ قَالَ أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْإِبِلِ قَالَ نَعَمْ فَتَوَضَّأْ مِنْ لُحُومِ الْإِبِلِ قَالَ أُصَلِّي فِي مَرَابِضِ الْغَنَمِ قَالَ نَعَمْ قَالَ أُصَلِّي فِي مَبَارِكِ الْإِبِلِ قَالَ لَا

Dari Jabir bin Samurah bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Apakah kami harus berwudhu karena makan daging kambing?” Beliau menjawab, “Jika kamu berkehendak maka berwudhulah, dan jika kamu tidak berkehendak maka janganlah kamu berwudhu.” Dia bertanya lagi, “Apakah harus berwudhu disebabkan (makan) daging unta?” Beliau menjawab, “Ya. Berwudhulah disebabkan (makan) daging unta.” Dia bertanya, “Apakah aku boleh shalat di kandang kambing?” Beliau menjawab, “Ya boleh.” Dia bertanya, “Apakah aku boleh shalat di kandang unta?” Beliau menjawab, “Tidak.” (HR. Muslim)

Dibolehkannya sholat di dalam kandang kambing dalam dua hadits di atas menunjukkan bahwa air kencing kambing adalah suci tidak najis, karena biasanya kandang kambing itu tidak bisa terlepas dari air kencing dan kotoran kambing.

Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa binatang yang boleh dimakan termasuk di dalamnya binatang luwak, maka status kotorannya tidak najis. Jika kotoran luwak tidak najis, tentunya biji kopi tersebut menjadi halal dengan sendirinya.

Kesimpulan:

Dari keterangan di atas, baik dengan mengambil pendapat yang mengatakan bahwa luwak adalah binatang buas yang tidak boleh dimakan, maupun pendapat yang mengatakan bahwa luwak halal dimakan, tetap saja kopi luwak hukumnya halal. Wallahu A’lam

[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Kopi_luwak

[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Musang_luwak

[3] An-Nawawi, al-Majmu’ , 2/ 573.

Oleh: Dr. Ahmad Zain An Najah (http://ahmadzain.com)

Dikutip dari: http://muslimahzone.com/hukum-kopi-luwak/

Sujud Tilawah

Pengertian Sujud Tilawah

Sujud tilawah adalah sujud yang dilakukan karena kita melakukan tilawah. Yang dimaksud dengan tilawah adalah membaca Al-Quran.  Di dalam Al-Quran Al-Karim ada beberapa ayat yang disebut dengan “Ayat Sajadah”. Setiap kali membaca ayat itu, kita disunnahkan untuk melakukan sujud. Dan nama sujud itu adalah sujud tilawah.

Sujud ini bisa saja dilakukan saat kita sedang shalat dan kebetulan membaca ayat-ayat sujud tilawah. Namun bisa juga dilakukan di luar shalat, yaitu saat membaca Al-Quran dan membaca ayat-ayat tersebut.

Dasar Masyru’iyah Sujud Tilawah

Ada beberapa dalil yang bisa dijadikan sebagai landasan dasar sujud tilawah. Antara lain ayat berikut ini:

“Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata, “Maha Suci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi.” Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk”.(QS. Al-Isra’: 107-109)

Selain itu juga ada dalil lainnya, yaitu sabda Rasulullah SAW;

“Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Apabila seorang anak Adam membaca ayat sajadah kemudian dia bersujud, setan kecewa dan menangis seraya berkata, “Aduh, anak Adam diperintahkan sujud lalu dia sujud maka dia mendapat surga, sedangkan aku diperintahkan sujud namun aku membangkang, maka aku mendapat neraka”. (HR Muslim)

“Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Rasulullah SAW membacakan kami suatu surat, kemudian beliau bersujud dan kami pun bersujud”. (HR Bukhari dan Muslim)

Hukum Mengerjakan Sujud Tilawah

Berdasarkan dari dalil-dalil di atas dan banyak lagi dalil lainnya, para ulama umumnya mengatakan bahwa sujud tilawah hukumnya sunnah. Namun kalau kita perdalam lagi, sebenarnya ada sedikit variasi hukum yang mereka kemukakan.

1. Pendapat mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah

Mereka sepakat mengatakan bahwa hukum sujud tilawah adalah sunnah muakkadah. Dalam pandangan mereka, sujud tilawah ini tidak menjadi wajib, karena Rasulullah SAW pernah juga tidak melakukan sujud tatkala membaca atau dibacakan ayat sajadah, yaitu sebagaimana disebutkan di dalam riwayat berikut ini:

“Dari Zaid bin Tsabit berkata, “Aku membaca surat An-Najm di depan Nabi SAW namun beliau tidak melakukan sujud”. (HR Bukhari dan Muslim)

2. Pendapat mazhab Al-Hanafiyah

Cukup menarik kalau kita pelajari mazhab ini khususnya dalam hal sujud tilawah. Sebab mereka-lah satu-satunya mazhab yang mengatakan bahwa hukum sujud tilawah itu wajib. Keterangan seperti itu bisa kita telusuri di dalam kitab Fathul Qadir jilid 1 halaman 382.

Untuk itu di antara dalil yang mereka gunakan adalah sabda Nabi Muhammad SAW: “Sujud itu wajib bagi mereka yang mendengarnya (ayat sajadah)”.

Namun hadits ini menurut Az-Zayla’i adalah hadits yang gharib, sebagaimana kita baca dalam kitab Nashburrayah jilid 2 halaman 178.

Namun para ulama di kalangan mazhab Al-Hanafiyah tentu saja tidak hanya bergantung pada satu hadits ini saja. Ternyata mereka juga menggunakan hadits tentang syetan yang menangis melihat anak Adam bersujud. Di atas tadi kami sudah tuliskan haditsnya.

3. Pendapat mazhab Al-Malikiyah

Kalau kita baca dalam kitab Jawahirul Iklil jidil 1 halaman 71, kita akan dapati ternyata para ulama di dalam mazhab ini agak kurang kompak. Sebagian mengatakan bahwa sujud tilawah itu hukumnya sunnah yang bukan muakkadah. Sebagian lainnya mengatakan hukumnya fadhilah (keutamaan).

Yang mengatakan hukumnya sunnah ghairu muakkadah adalah Ibnu ‘Athaillah dan Al-Fakihani Sedangkan yang mengatakan hukumnya fadhilah adalah Al-Baji dan Ibnu Katib.

Ayat-ayat Sajadah

Ada 15 ayat yang telah disepakati para ulama sebagai ayat sajadah. Lengkapnya ayat-ayat itu adalah sebagai berikut:

1. Surat Al-A’raf: 206

إِنَّ الَّذِينَ عِنْدَ رَبِّكَ لَا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَيُسَبِّحُونَهُ وَلَهُ يَسْجُدُونَ (206)

“Sesungguhnya malaikat-malaikat yang ada di sisi Tuhanmu tidaklah merasa enggan menyembah Allah dan mereka mentasbihkan-Nya dan hanya kepada-Nya-lah mereka bersujud”.

2. Surat Ar-Ra’d: 15

وَلِلَّهِ يَسْجُدُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَظِلَالُهُمْ بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ (15)

“Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri atau pun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari”.

3. Surat An-Nahl: 49

وَلِلَّهِ يَسْجُدُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مِنْ دَابَّةٍ وَالْمَلَائِكَةُ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ (49)

“Dan kepada Allah sajalah bersujud segala apa yang berada di langit dan semua makhluk yang melata di bumi dan (juga) para malaikat, sedang mereka (malaikat) tidak menyombongkan diri”.

4. Surat Al-Isra’: 107

قُلْ آَمِنُوا بِهِ أَوْ لَا تُؤْمِنُوا إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا (107)

“Katakanlah: “Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud”.

5. Surat Maryam: 58

أُولَئِكَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ مِنْ ذُرِّيَّةِ آَدَمَ وَمِمَّنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ وَمِنْ ذُرِّيَّةِ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْرَائِيلَ وَمِمَّنْ هَدَيْنَا وَاجْتَبَيْنَا إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آَيَاتُ الرَّحْمَنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا (58)

“ …. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis”.

6. Surat Al-Hajj: 18

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُومُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ وَكَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ وَكَثِيرٌ حَقَّ عَلَيْهِ الْعَذَابُ وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ (18)

“Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon- pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? Dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. Dan barang siapa yang dihinakan Allah maka tidak seorang pun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki”.

7. Surat Al-Hajj: 77

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (77)

“Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebaikan, supaya kamu mendapat kemenangan”.

8. Surat Al-Furqan: 60

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اسْجُدُوا لِلرَّحْمَنِ قَالُوا وَمَا الرَّحْمَنُ أَنَسْجُدُ لِمَا تَأْمُرُنَا وَزَادَهُمْ نُفُورًا (60)

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Sujudlah kamu sekalian kepada Yang Maha Penyayang”, mereka menjawab: “Siapakah yang Maha Penyayang itu? Apakah kami akan sujud kepada Tuhan Yang kamu perintahkan kami (bersujud kepada-Nya)?”, dan (perintah sujud itu) menambah mereka jauh (dari iman)”.

9. Surat An-Naml: 25

أَلَّا يَسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي يُخْرِجُ الْخَبْءَ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُخْفُونَ وَمَا تُعْلِنُونَ (25)

“Agar mereka tidak menyembah Allah Yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi dan Yang mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan”.

10. Surat As-Sajdah: 15

إِنَّمَا يُؤْمِنُ بِآَيَاتِنَا الَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِهَا خَرُّوا سُجَّدًا وَسَبَّحُوا بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ (15)

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Kami, adalah orang-orang yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat (Kami), mereka menyungkur sujud dan bertasbih serta memuji Tuhannya, sedang mereka tidak menyombongkan diri”.

11. Surat Shaad: 24

قَالَ لَقَدْ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعْجَتِكَ إِلَى نِعَاجِهِ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَا هُمْ وَظَنَّ دَاوُودُ أَنَّمَا فَتَنَّاهُ فَاسْتَغْفَرَ رَبَّهُ وَخَرَّ رَاكِعًا وَأَنَابَ (24)

“ ….. Dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya; maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertobat”.

12. Surat Fushshilat: 37

وَمِنْ آَيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ (37)

“Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah Yang menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah”.

13. Surat An-Najm: 62

فَاسْجُدُوا لِلَّهِ وَاعْبُدُوا (62)

“Maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia)”.

14. Surat Al-Insyiqaq: 21

وَإِذَا قُرِئَ عَلَيْهِمُ الْقُرْآَنُ لَا يَسْجُدُونَ (21)

“Dan apabila Al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud”.

15. Surat Al-‘Alaq: 19

كَلَّا لَا تُطِعْهُ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ (19)

“Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)”.

Tata Cara Sujud Tilawah

Sujud tilawah dilakukan hanya sekali saja, baik di dalam shalat maupun di luar shalat. Di dalam shalat, begitu selesai membaca ayat sajadah, kita disunnahkan untuk langsung sujud, tanpa ruku’ atau i’tidal. Sujudnya hanya sekali dan langsung berdiri kembali untuk meneruskan bacaan yang tadi sempat terjeda untuk sujud.

Sujud tilawah di dalam atau di luar shalat dilakukan di tengah dua takbir. Maksudnya, sujud itu dimulai dengan takbir lalu sujud lalu bangun dari sujud dengan takbir juga.

Wallahu a’lam bish-shawab

Ahmad Sarwat, Lc

Salaman Selesai Shalat

Bersalaman Selesai Shalat[1].
Fatwa Syekh DR. Ali Jum’ah.

Pertanyaan:
Apa hukum bersalaman selesai shalat?

Jawaban:
Bersalaman itu dianjurkan pada hukum asalnya. Imam an-Nawawi berkata, “Ketahuilah bahwa bersalaman itu sunnah, disepakati hukumnya, bersalaman ketika bertemu”. (Fath al-Bari, al-Hafizh Ibnu Hajar, juz. XI, hal. 55, menukil pendapat Imam an-Nawawi).

Ibnu Baththal berkata, “Asal bersalaman itu baik, demikian menurut mayoritas ulama”. (Fath al-Bari, al-Hafizh Ibnu Hajar, juz. XI, hal. 55, menukil pendapat Imam an-Nawawi; Tuhfat al-Ahwadzi, juz. VII, hal. 426).

Banyak ahli Fiqh dari berbagai mazhab menyebutkan bahwa bersalaman diantara laki-laki itu dianjurkan. Mereka berdalil dengan hadits-hadits shahih dan hasan. Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan Ka’ab bin Malik, ia berkata:
دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ ، فَإِذَا بِرَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَامَ إِلَىَّ طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ يُهَرْوِلُ ، حَتَّى صَافَحَنِى وَهَنَّأَنِى
“Saya masuk ke dalam masjid. Rasulullah Saw duduk, di sekelilingnya banyak orang. Thalhah bin ‘Ubaidillah berdiri datang kepada saya berlari-lari kecil hingga ia menyalami saya dan mengucapkan tahni’ah kepada saya”. (HR. Ahmad, al-Bukhari dan Muslim).

Dari Qatadah, ia berkata, “Saya berkata kepada Anas, “Apakah para shahabat nabi itu bersalaman?”. Ia menjawab, “Ya”. (HR. al-Bukhari dan Ibnu Hibban).

Diriwayatkan dari ‘Atha’ bin Abi Muslim Abdullah al-Khurasani, ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda:
تَصَافَحُوا يَذْهَبِ الْغِلُّ وَتَهَادَوْا تَحَابُّوا وَتَذْهَبِ الشَّحْنَاءُ
“Bersalamanlah kamu, ia menghilangkan dengki. Saling member hadiahlah kamu, maka kamu akan berkasih sayang dan menghilangkan permusuhan”. (HR. ad-Dailami dalam Musnad al-Firdaus).

Adapun bersalaman setelah selesai shalat, tidak seorang pun ulama mengharamkannya, bahkan mereka menganjurkannya. Bersalaman selesai shalat itu bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) atau bid’ah mubahah (bid’ah yang dibolehkan). Imam an-Nawawi membahas masalah ini secara terperinci, beliau berkata, “Jika orang yang bersalaman itu belum menyalami saudaranya sebelum shalat, maka salaman-nya itu sunnah hasanah. Jika ia telah menyalami saudaranya sebelum shalat, maka salaman-nya itu mubah (boleh)”. (al-Majmu’, an-Nawawi, juz. III, hal. 469 – 470).

Imam al-Hashkafi berkata, “Apa yang dikatakan pengarang -at-Tamrutasyi- mengikuti apa yang telah disebutkan dalam ad-Durar, al-Kanz, al-Wiqayah, an-Niqayah, al-Majma’, al-Multaqa dan kitab-kitab lainnya. Mengandung makna boleh bersalaman secara mutlak, meskipun setelah shalat ‘Ashar. Pendapat mereka yang mengatakan bid’ah, artinya bid’ah mubahah hasanah (bid’ah yang dibolehkan dan baik), sebagaimana yang dinyatakan Imam an-Nawawi dalam al-Adzkar karyanya”. (ad-Durr al-Mukhtar, al-Hashkafi, juz. VI, hal. 380).

Imam Ibnu ‘Abidin memberikan komentar setelah menyebutkan pendapat ulama yang menyatakan boleh secara mutlak dari kalangan ulama Mazhab Hanafi, “Ini yang sesuai dengan apa yang dikatakan pen-syarah dari teks matn yang bersifat umum. Ia berdalil dengan pendapat ini berdasarkan nash-nash yang bersifat umum tentang bersalaman menurut syariat Islam”. (Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar dikenal dengan nama Hasyiyah Ibn ‘Abidin, juz. VI, hal. 381).

Mereka berpendapat bahwa bersalaman setelah shalat itu dibolehkan secara mutlak. Ath-Thabari berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan al-Bukhari dari Abu Juhaifah, ia berkata:
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ – ص م – بِالْهَاجِرَةِ إِلَى الْبَطْحَاءِ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ صَلَّى الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ ، وَالْعَصْرَ رَكْعَتَيْنِ ، وَبَيْنَ يَدَيْهِ عَنَزَةٌ . {قَالَ شُعْبَةُ} وَزَادَ فِيهِ عَوْنٌ عَنْ أَبِيهِ أَبِى جُحَيْفَةَ قَالَ كَانَ يَمُرُّ مِنْ وَرَائِهَا الْمَرْأَةُ ، وَقَامَ النَّاسُ فَجَعَلُوا يَأْخُذُونَ يَدَيْهِ ، فَيَمْسَحُونَ بِهَا وُجُوهَهُمْ ، قَالَ فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ ، فَوَضَعْتُهَا عَلَى وَجْهِى ، فَإِذَا هِىَ أَبْرَدُ مِنَ الثَّلْجِ ، وَأَطْيَبُ رَائِحَةً مِنَ الْمِسْكِ
“Rasulullah Saw pergi dari al-Hajirah ke al-Bath-ha’, beliau berwudhu’, kemudian melaksanakan shalat Zhuhur dua rakaat dan ‘Ashar dua rakaat. Di depannya ada tongkat. Perempuan lewat di belakangnya. Orang banyak berdiri, mereka menarik tangan Rasulullah Saw dan mengusapkannya ke wajah mereka. Aku menarik tangan Rasulullah Saw dan meletakkannya ke wajahku, tangan itu lebih sejuk daripada es dan lebih harum daripada kasturi”. (HR. al-Bukhari).

Al-Muhib ath-Thabari berkata, “Riwayat ini dapat dijadikan dalil karena sesuai dengan apa yang dilakukan kaum muslimin yaitu bersalaman setelah shalat dalam berjamaah, terlebih lagi pada shalat ‘Ashar dan Maghrib, jika bersalaman itu berkaitan dengan menyalami orang shaleh untuk mengambil berkah atau berkasih sayang dan lainnya”.
Adapun Imam al-‘Izz bin ‘Abdissalam, setelah membagi bid’ah menjadi lima bagian: bid’ah wajib, bid’ah haram, bid’ah makruh, bid’ah mustahab dan bid’ah mubah. Beliau berkata, “Bid’ah mubahah itu memiliki beberapa contoh, diantaranya adalah bersalaman setelah shalat Shubuh dan shalat ‘Ashar”. (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, ‘Izz bin Abdissalam, juz. II, hal. 205).

Imam an-Nawawi berkata, “Adapun bersalaman yang biasa dilakukan setelah shalat Shubuh dan ‘Ashar. Syekh Imam Abu Muhammad bin Abdissalam menyebutkan bahwa itu bid’ah mubahah, tidak disebut makruh atau mustahab. Yang ia katakan ini baik. Menurut pendapat pilihan dikatakan bahwa, jika seseorang menyalami orang lain yang telah ada bersamanya sebelum shalat, maka boleh, seperti yang telah kami sebutkan. Jika ia menyalami orang yang sebelumnya tidak ada bersamanya sebelum shalat, maka salaman itu dianjurkan. Karena bersalaman ketika bertemu itu sunnat menurut Ijma’ berdasarkan hadits-hadits shahih”. (al-Majmu’, an-Nawawi, juz. III, hal. 469 – 470).

Dengan demikian dapat diketahui bahwa orang yang mengingkari bersalaman setelah shalat itu ada dua kemungkinan; mungkin tidak mengetahui dalil-dalil yang telah kami sebutkan atau tidak berjalan diatas manhaj ilmu yang menjadi dasar. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.

[1] Syekh DR. Ali Jum’ah, Al-Bayan li ma Yusyghil al-Adzhan, (Cet. I; Kairo: al-Muqaththam, 1426H/2005M), hal. 262